Macchiato Biru menutup diri hari ini, menyisakan gerimis yang terus menderu dimalam Juli. Tak mengelukan gerimis, kendaraan dijalan raya tetap beroperasi sebagaimana mestinya. Memenuhi setiap sudut jalan Antapani, yang remang-remang diisi kerlip-kerlip cahaya kendaraan dari kejauhan. Indah rasanya, terlebih ketika sebuah kedai kopi mengepulkan aroma khasnya untuk malam ini. Tak ada yang lebih menarik selain memandang kepulan uap macchiato yang masih hangat. Sesapan demi sesapan mereka tuangkan kedalam mulut perlahan. Ruangan tak seberapa luas itu kini sedikit lengang, hanya didapati beberapa kursi yang masih terisi. Sudut lantai dua, tempat dimana terpampang pria dan wanita sedang bercakap-cakap dalam riuh pikirannya masing-masing. Mulut mereka sengaja dikunci, seakan ada sekat tebal yang menghalangi untuk mereka sekadar berdiskusi. “Kau pasti punya penjelasan, bukan?” Serunya pada pria yang sejak tadi tak berani menatap kepadanya. Pria berkaus navy itu tak menjawab, h
Tahun ke-6 aku merindukanmu. Kau; seseorang yang selalu membuat senyumku tetiba merekah sedari dulu. Menaruh pandanganku untuk kesekian kalinya kepada orang yang sama, sama sekali tidak memperhatikanku. Sejak hatiku memiliki ruang-ruang tak berujung. Kaulah satu-satunya orang yang berani singgah menutup ruang-ruang hampa disana. Entah bagaimana caranya, walaupun saat ini kau tak nyata, kau masih hadir ketika kegusaranku tiba. Kaulah alasanku untuk melanjutkan rasa, setelah lama berlelah-lelah dengan hal memuakkan beratas namakan cinta. Aku selalu penasaran denganmu. Dengan tatapan matamu, dengan tingkah lakumu. Caramu menatap, caramu berbicara. Caramu menyampaikan cerita dengan begitu hebatnya. Kau itu lugu, terkadang. Apapun dibuat istimewa karenamu. Aku selalu suka caramu seperti itu. Suaramu lembut, tak pernah kasar bahkan ketika berpamit akan meninggalkanku. Tatapanmu mempesona, membuat kesan tersendiri bagi siapa saja yang melihatnya. Senyummu membuatku terpana, terbay