Langsung ke konten utama

Perih

Hai 6 September!
Ka.
Ka, aku jatuh tadi. Sakit sekali. Lebih sakit dari yang aku bayangkan. Sampai-sampai aku betul-betul tidak bisa berjalan hari ini. Lalu kaka tadi kemana? Aku melihat kaka ada di depan mataku tadi. Aku melihat kaka sewaktu aku kesakitan tadi. Aku menyadari kehadiran hangat kaka tadi. Banyak mereka yang memperdulikan aku. Tapi kamu? Apa pedulimu? Hanya bisa berbicara 'mengapa' lalu pergi meninggalkanku begitu saja? Tanpa memberiku nafas untuk menjawab perkataanmu tadi? Seperti itukah? Dimana letak pedulimu dahulu? Tak bisakah kaka menyemangatiku seperti dahulu? Tak bisakah sekejap saja kaka menemani hari burukku seperti dahulu? Tak bisakah? Sejahat itukah? Masih nyata sekali di pikiranku ketika aku jatuh lalu kaka membangunkanku dengan kata 'lekas sembuh'! Masih nyata sekali ketika kaka bicara 'kamunya sembuh dulu, baru kaka kasih tau'! Semuanya masih terlihat sangat nyata. Lalu sekarang? Ketika aku kesakitan tepat dihadapanmu, apa reaksimu? Apa pedulimu? Bertanya lebih tentang keadaanku pun rasanya enggan. Tak adakah kaka menghargai perasaanku sedikit saja? Tak adakah? Perih.

Komentar

  1. Kasihan tau . Tapi mau ngucapin meni sulit takut ada yang salah sorry .😔

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah lah ya itu mah dulu=D udh ga apa2 gini.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sore tadi, tuan.

Jika suatu saat aku mengayuh sepeda, lalu kau berdampingan denganku, itu hanya mimpi. Kau, satu-satunya pria yang kuberi tahu tentang bagaimana tragedi selang infus dan oxygen itu -aku tiba-tiba mempercayaimu. Aku pikir kau memang khawatir, ternyata ilusi ini terlalu tinggi. Aku hanya teman, bagimu. Ya, memang kita teman. Terkadang, memendam itu bukanlah cara yang baik untuk menyatakan cinta. Dia malah akan membuat lebih banyak duka yang tak diduga-duga. Mungkin, perihal beberapa orang yang sukses memendam rasa, hanya 10% dari total 1000% yang berhasil membuat dia berbalik padanya. Berbeda denganku, terlalu mustahil; pun dia menginginkanku. Permen karet. Ya, permen karet. Perasaanku seperti itu, sebelum segalanya berubah layaknya bedebah, mengaku kalau kau sudah memiliki wanita. Ketika aku sedang manis-manisnya memendam rasa, lalu tiba-tiba kenyataan menampakkan kau dengannya. Rasanya langsung sirna, hambar, ingin aku membuangnya begitu saja. Tapi nyatanya tak bisa. Itulah. Ini

Macchiato

Macchiato Biru menutup diri hari ini, menyisakan gerimis yang terus menderu dimalam Juli. Tak mengelukan gerimis, kendaraan dijalan raya tetap beroperasi sebagaimana mestinya. Memenuhi setiap sudut jalan Antapani, yang remang-remang diisi kerlip-kerlip cahaya kendaraan dari kejauhan. Indah rasanya, terlebih ketika sebuah kedai kopi mengepulkan aroma khasnya untuk malam ini. Tak ada yang lebih menarik selain memandang kepulan uap macchiato yang masih hangat. Sesapan demi sesapan mereka tuangkan kedalam mulut perlahan. Ruangan tak seberapa luas itu kini sedikit lengang, hanya didapati beberapa kursi yang masih terisi. Sudut lantai dua, tempat dimana terpampang pria dan wanita sedang bercakap-cakap dalam riuh pikirannya masing-masing. Mulut mereka sengaja dikunci, seakan ada sekat tebal yang menghalangi untuk mereka sekadar berdiskusi. “Kau pasti punya penjelasan, bukan?” Serunya pada pria yang sejak tadi tak berani menatap kepadanya. Pria berkaus navy itu tak menjawab, h