Macchiato
Biru
menutup diri hari ini, menyisakan gerimis yang terus menderu dimalam Juli. Tak
mengelukan gerimis, kendaraan dijalan raya tetap beroperasi sebagaimana
mestinya. Memenuhi setiap sudut
jalan Antapani, yang remang-remang diisi kerlip-kerlip cahaya kendaraan dari
kejauhan. Indah rasanya, terlebih ketika sebuah kedai kopi mengepulkan aroma khasnya
untuk malam ini.
Tak
ada yang lebih menarik selain memandang kepulan uap macchiato yang masih hangat. Sesapan demi sesapan mereka tuangkan kedalam
mulut perlahan. Ruangan tak seberapa luas itu kini sedikit lengang, hanya didapati
beberapa kursi yang masih terisi.
Sudut
lantai dua, tempat dimana terpampang pria dan wanita sedang bercakap-cakap
dalam riuh pikirannya masing-masing. Mulut mereka sengaja dikunci, seakan ada
sekat tebal yang menghalangi untuk mereka sekadar berdiskusi.
“Kau pasti punya
penjelasan, bukan?” Serunya pada pria yang sejak tadi tak berani menatap
kepadanya. Pria berkaus navy itu tak
menjawab, hanya terselip tarikan napas panjang yang hingga saat ini belum ia
mengerti.
Wanita itu kembali sabar menunggu jawaban, sembari
mengusap-usap cangkir porselen berisi macchiatto
yang masih terasa hangat. Ia kemudian menatap pria dihadapannya lamat-lamat.
Pria itu masih tetap manis bersimpuh pada diamnya sejak tiba tadi.
“Aku tak akan marah.”
Jelasnya selanjutnya. Pria itu masih tetap tak bergeming. Hanya tarikan napas
panjang yang tiada habisnya. Untuk kesekian kalinya, ia menunduk, tak ada tatap
apalagi canda yang biasa mereka lontarkan ketika mereka dengan sengaja bersua.
“Maaf.” Timpal pria itu
kemudian, setelah lama tak memberi jawaban.
“Lagi? Ayolah, aku hanya
butuh penjelasanmu.” Tukasnya sedikit menekan pada akhir kalimatnya.
Wanita berkemeja maroon itu tak heran jika pertemuannya
kali ini lebih banyak terseka oleh hening. Ia tak akan menyalahkan pria itu
sepenuhnya jika saja ia angkat bicara. Kali ini, hatinya tak runtuh bahkan
luluh dengan permintaan maaf pria itu. Ia sudah terlanjur beku perihal
temuannya saban hari lalu.
“Aku tak akan bicara
sebelum kau memaafkanku.” Timpal pria itu bernada pelan dengan kepala yang
masih tertunduk.
Sejak
hari itu usai, kata maaf yang selalu pria itu sematkan tak sedikitpun ia
tanggapi. Sesak tak henti-hentinya berjejal direlung terdangkal hatinya.
Terlebih, ketika bayangan itu terus-menerus berdansa dipikirannya. Ia lebih
memilih tak bersahut. Padahal wanita itu tahu betul jika diam memang bukanlah
yang terbaik. Tetapi, apakah ada kata lain yang lebih agung selain diam?
“Orang suci sekalipun,
akan memberi maaf ketika sudah ada kejelasan.” Jawab wanita itu, pasti. Ia
masih tetap terlihat tenang walaupun dilubuk hatinya ingin bergegas pergi. Sudah
tak tahan rasanya.
“Aku hanya tak tahu
kenapa aku seperti itu. Semuanya terjadi begitu saja.”
“Lalu?” Jawabnya singkat.
“Aku juga tak tahu kau
ada disana.”
Sejenak
ia tertegun, desahan napas panjang akhirnya keluar dari mulutnya. Wanita dengan
tatapan binar itu berubah menjadi kelabu. Ia kemudian memalingkan wajah, mengamati
lekukan jendela yang bersisian langsung dengan jalan raya. Masih tetap gerimis,
paduan yang pas untuk hatinya yang terlalu teriris.
“Aku tak pernah keberatan.
Kau berkawan dengan siapapun, bertukar tawa dengan wanita manapun. Pun taka da
teori yang menjelaskan bahwa sabar itu ada batasnya. Tetapi, perihal yang satu
ini, kau terlewat batas. Kau belum melepasku, tapi tak merasa mendampingiku.”
Jelasnya dengan nada tenang, membuat pria dihadapannya menatap kosong ke segala
arah.
Ucapan wanita yang dihadapannya memang sepenuhnya
benar. Ia terlanjur mengecawakannya begitu dalam. Ia sudah terlewat dingin untuk dikatakan tegar. Hatinya terlalu beku untuk menangisi pria yang dengan lancang merobek hatinya saban
hari lalu.
“Dia ciuman pertamaku.”
Timpal pria itu sembari menarik napas panjang sekali lagi.
“Lalu?”
“Hanya itu.”
“Tak usah berbohong.”
“Aku tak menyukainya, itu
terjadi begitu saja.”
Wanita itu mendesah panjang sekali lagi. Kupingnya
pengang mendengar kata sayang dari pria yang dengan kentara terlalu
menyakitinya. Hatinya tak lagi riuh, hanya tersisa berbalok-balok es yang
mengutubi setiap ruas relung hatinya.
“Maaf.” Ujar pria itu
sekali lagi.
Sudah
cukup untuknya menahan rasa perih yang terus menganga. Sudah saatnya ia melepas
pria itu pergi. Juli kali ini berbeda dengan
sebelumnya, terasa dingin dengan intensitas waktu yang lama. Walu
gerimis kerap mengguyur Antapani, tetapi
tetap hangat meski pukul tiga dini hari.
“Hidanganku terlanjur dingin untuk sekadar
memaafkanmu.” Timpal wanita berambut arai itu sembari memoles senyum.
“Kau sudah berjanji untuk
memaafkanku.”
“Penjelasanmu terlalu
dangkal. Pun aku tak janji memaafkanmu. Semuanya masih terlihat samar
dalam pikiranku.” Jeda kembali menghinggapi mereka berdua. Hanya tersisa sesapan
terakhir macchiato menggenang di
porselen cantik berwarna hitam.
“Jadi aku harus bagaimana?”
Jawabnya dengan mimik muka memohon.
“Entahlah, aku tak pernah
benar-benar siap melihatmu untuk selanjutnya.” Jelasnya, “Aku tak benar-benar
mengenalmu. Aku duluan, gerimisnya sedikit reda.” Lanjutnya sesaat sebelum
ia melangkah begitu saja meninggalkan pria yang mematung disudut ruangan, begitu saja.
Gerimis reda. Tak ada lagi canda apalagi tawa terselip
disana, semua sirna sebagaimana mestinya. Seiring berjaraknya ia dengan kedai kopi yang menjadi saksi perjalanan hatinya.
Mosaic broken hearts.
Komentar
Posting Komentar