Jika suatu saat aku mengayuh sepeda, lalu kau berdampingan denganku, itu hanya mimpi.
Kau, satu-satunya pria yang kuberi tahu tentang bagaimana tragedi selang infus dan oxygen itu -aku tiba-tiba mempercayaimu. Aku pikir kau memang khawatir, ternyata ilusi ini terlalu tinggi. Aku hanya teman, bagimu. Ya, memang kita teman.
Terkadang, memendam itu bukanlah cara yang baik untuk menyatakan cinta. Dia malah akan membuat lebih banyak duka yang tak diduga-duga. Mungkin, perihal beberapa orang yang sukses memendam rasa, hanya 10% dari total 1000% yang berhasil membuat dia berbalik padanya. Berbeda denganku, terlalu mustahil; pun dia menginginkanku.
Permen karet. Ya, permen karet. Perasaanku seperti itu, sebelum segalanya berubah layaknya bedebah, mengaku kalau kau sudah memiliki wanita. Ketika aku sedang manis-manisnya memendam rasa, lalu tiba-tiba kenyataan menampakkan kau dengannya. Rasanya langsung sirna, hambar, ingin aku membuangnya begitu saja. Tapi nyatanya tak bisa. Itulah.
Ini hari minggu, tuan. Hari dimana kau mulai mengubah semestaku menjadi kelabu. Hari dimana pikiranku mulai kalut bertanya ini itu. Hari dimana, rumus fisika pun tak mempan menampik cucuran sendu. Pantas saja, hujan begitu awet hari ini, ternyata, ada seonggok kabar nanar menghampiri. Tuhan masih menyayangiku, membiarkan hujan turun, untuk sekadar meredam suara tangisku.
Tak ada kata lain selain pilu. Memendam tak semudah yang dibayangkan. Memendam bukan perkara mudah ketika dia hanya sebatas khayalan. Teman nyata bukan seperjuangan, teman yang beberapa bulan ini selalu menawan, teman yang dengan lancangnya menatap mataku dalam-dalam.
Jika ingin tahu...
Dia bukan penyair apalagi penulis, dia terlalu payah dalam hal itu.
Dia bukan salinan bung fiersa yang mampu menyampaikan rasa, dia pun payah dalam hal menyuarakan lirik lagu.
Dia juga bukan matematikawan, atau fisikawan, apalagi kimiawan yang cerdas dalam memecahkan soal hitungan. Dia juga payah dalam hal itu.
Dia biasa, bahkan terlalu biasa untuk menjadi teman peraduan. Bahkan hatinya terlalu dingin, untuk sekadar menyadari bahwa tuan puteri disisinya itu sedang jatuh hati. Kau malah memilih wanita nan jauh di seberang sana.
Sudahlah, ini hal biasa. Aku selalu terluka karena khayalanku saja. Mirisnya.
Jika kau membaca, semoga kau peka. Aku sudah lelah memendam rasa, berakting tak terluka. Aku sudah bosan berdusta, tertawa menyamai bahagia ketika kau bersamanya. Ini hanya curahan hati saja, aku tak mau kau tak tahu, tulisan ini hanya tersimpan dalam buku.
24 Oktober 2016.
Untuk pria yang kusebut youtan poluo.
Kau, satu-satunya pria yang kuberi tahu tentang bagaimana tragedi selang infus dan oxygen itu -aku tiba-tiba mempercayaimu. Aku pikir kau memang khawatir, ternyata ilusi ini terlalu tinggi. Aku hanya teman, bagimu. Ya, memang kita teman.
Terkadang, memendam itu bukanlah cara yang baik untuk menyatakan cinta. Dia malah akan membuat lebih banyak duka yang tak diduga-duga. Mungkin, perihal beberapa orang yang sukses memendam rasa, hanya 10% dari total 1000% yang berhasil membuat dia berbalik padanya. Berbeda denganku, terlalu mustahil; pun dia menginginkanku.
Permen karet. Ya, permen karet. Perasaanku seperti itu, sebelum segalanya berubah layaknya bedebah, mengaku kalau kau sudah memiliki wanita. Ketika aku sedang manis-manisnya memendam rasa, lalu tiba-tiba kenyataan menampakkan kau dengannya. Rasanya langsung sirna, hambar, ingin aku membuangnya begitu saja. Tapi nyatanya tak bisa. Itulah.
Ini hari minggu, tuan. Hari dimana kau mulai mengubah semestaku menjadi kelabu. Hari dimana pikiranku mulai kalut bertanya ini itu. Hari dimana, rumus fisika pun tak mempan menampik cucuran sendu. Pantas saja, hujan begitu awet hari ini, ternyata, ada seonggok kabar nanar menghampiri. Tuhan masih menyayangiku, membiarkan hujan turun, untuk sekadar meredam suara tangisku.
Tak ada kata lain selain pilu. Memendam tak semudah yang dibayangkan. Memendam bukan perkara mudah ketika dia hanya sebatas khayalan. Teman nyata bukan seperjuangan, teman yang beberapa bulan ini selalu menawan, teman yang dengan lancangnya menatap mataku dalam-dalam.
Jika ingin tahu...
Dia bukan penyair apalagi penulis, dia terlalu payah dalam hal itu.
Dia bukan salinan bung fiersa yang mampu menyampaikan rasa, dia pun payah dalam hal menyuarakan lirik lagu.
Dia juga bukan matematikawan, atau fisikawan, apalagi kimiawan yang cerdas dalam memecahkan soal hitungan. Dia juga payah dalam hal itu.
Dia biasa, bahkan terlalu biasa untuk menjadi teman peraduan. Bahkan hatinya terlalu dingin, untuk sekadar menyadari bahwa tuan puteri disisinya itu sedang jatuh hati. Kau malah memilih wanita nan jauh di seberang sana.
Sudahlah, ini hal biasa. Aku selalu terluka karena khayalanku saja. Mirisnya.
Jika kau membaca, semoga kau peka. Aku sudah lelah memendam rasa, berakting tak terluka. Aku sudah bosan berdusta, tertawa menyamai bahagia ketika kau bersamanya. Ini hanya curahan hati saja, aku tak mau kau tak tahu, tulisan ini hanya tersimpan dalam buku.
24 Oktober 2016.
Untuk pria yang kusebut youtan poluo.
Komentar
Posting Komentar