Pria manis yang tak mampu menunggu hujan, pergi bersama pelangi yang ingin buru-buru pergi. Kalian berdua serasi, prianya berkamuflase menjadi bintang terang nan jauh diujung sana, sedang wanitanya banyak membisu namun kelihatan sering merindu. Begitu katanya setelah kenyataan berbisik bahwa kalian tak lagi bersama.
Perkenalkan, aku puan yang pernah sesekali kau pikirkan, aku disini menggeser posisi sebagai orang ketiga yang dahulunya adalah pemeran utama. Aku puan yang selama ini, selama satu tahun lamanya terjebak dalam dunia pengharapan tak kunjung usai. Melewati segalanya dengan tangisan memalukan sekaligus memilukan, demi sang bintang yang saat ini cahyanya mulai meredup, meredup seakan sedang meratapi sesuatu.
Semoga tuan selalu bahagia dengan pilihannya. Semoga kau baik-baik saja disana.
Jangan beritahu jika tuan masih disini, takutnya hati ini riuh kembali. Tetapi tenang saja, yang berkaitan denganmu sudah kusimpan rapi dalam palung imajinasi, ia akan terbuka kembali jika tuan mengijinkannya. Hati ini takkan riuh jika tuan tak membangunkannya. Jadi, diamlah. Biarkan ia tertidur hingga ketika terbangun, ia sudah melupakanmu.
Terima kasih atas pujiannya, aku cukup dibuat melamun karena suaramu, terima kasih pula dengan alunan gitarnya, yang mampu membuat mataku sedikit sembab kembali karena terlalu lama memaksakan hati.
Ceritanya belum usai, jika bertanya apakah aku sedang merindu, atau pura-pura menulis karena ingin tuan kembali padaku. Jelas, puan ini tak sedang merindu, apalagi pura-pura ingin menyeret tuan kembali, puan ini hanya hanya sekadar ingin tahu bagaimana kabarmu. Sudah lama kita tak bersua dalam imajinasiku. Terakhir kemarin bertemu, seperti biasa aku selalu iri pada senyummu, kau terlalu manis dibandingkan aku.
Mari berandai-andai, jika dicetak dalam buku, mungkin kisahku yang tergeser menjadi orang ketiga ini tak pernah adil. Siapa yang menunggu siapa, dia pun ditunggu oleh siapa, siapa yang ditunggu sedang menunggu siapa, singkatnya. Membingungkan bukan? Ini tak seperti akhir kisah buku biasanya, bukan happy ending, sad ending, atau cerita yang menggantung lagi. Tetapi lebih kepada akhir yang rancu, kalut, berbelit-belit, lalu tiba-tiba hilang ditelan bumi.
Maaf saya menulis ingin seperti aliran puisinya Sutardji-- bergaya kontemporer. Tapi jatuhnya malah seperti ini. Ah, apalah coretan amatiran seperti ini, aku hanya ingin mengungkapkan rasa, kau, dia bahkan mereka tak wajib membacanya. Ini hanya ungkapan saja, terima kasih.
Perkenalkan, aku puan yang pernah sesekali kau pikirkan, aku disini menggeser posisi sebagai orang ketiga yang dahulunya adalah pemeran utama. Aku puan yang selama ini, selama satu tahun lamanya terjebak dalam dunia pengharapan tak kunjung usai. Melewati segalanya dengan tangisan memalukan sekaligus memilukan, demi sang bintang yang saat ini cahyanya mulai meredup, meredup seakan sedang meratapi sesuatu.
Semoga tuan selalu bahagia dengan pilihannya. Semoga kau baik-baik saja disana.
Jangan beritahu jika tuan masih disini, takutnya hati ini riuh kembali. Tetapi tenang saja, yang berkaitan denganmu sudah kusimpan rapi dalam palung imajinasi, ia akan terbuka kembali jika tuan mengijinkannya. Hati ini takkan riuh jika tuan tak membangunkannya. Jadi, diamlah. Biarkan ia tertidur hingga ketika terbangun, ia sudah melupakanmu.
Terima kasih atas pujiannya, aku cukup dibuat melamun karena suaramu, terima kasih pula dengan alunan gitarnya, yang mampu membuat mataku sedikit sembab kembali karena terlalu lama memaksakan hati.
Ceritanya belum usai, jika bertanya apakah aku sedang merindu, atau pura-pura menulis karena ingin tuan kembali padaku. Jelas, puan ini tak sedang merindu, apalagi pura-pura ingin menyeret tuan kembali, puan ini hanya hanya sekadar ingin tahu bagaimana kabarmu. Sudah lama kita tak bersua dalam imajinasiku. Terakhir kemarin bertemu, seperti biasa aku selalu iri pada senyummu, kau terlalu manis dibandingkan aku.
Mari berandai-andai, jika dicetak dalam buku, mungkin kisahku yang tergeser menjadi orang ketiga ini tak pernah adil. Siapa yang menunggu siapa, dia pun ditunggu oleh siapa, siapa yang ditunggu sedang menunggu siapa, singkatnya. Membingungkan bukan? Ini tak seperti akhir kisah buku biasanya, bukan happy ending, sad ending, atau cerita yang menggantung lagi. Tetapi lebih kepada akhir yang rancu, kalut, berbelit-belit, lalu tiba-tiba hilang ditelan bumi.
Maaf saya menulis ingin seperti aliran puisinya Sutardji-- bergaya kontemporer. Tapi jatuhnya malah seperti ini. Ah, apalah coretan amatiran seperti ini, aku hanya ingin mengungkapkan rasa, kau, dia bahkan mereka tak wajib membacanya. Ini hanya ungkapan saja, terima kasih.
Komentar
Posting Komentar